Selamat Membaca! Mohon Maaf! Saya bukan PENULIS! Saya hanyalah seorang yang senang berimajinasi!
Rayya Lopritta
By
Yuka Agustin Chalistya
“Ayyaaaaa”, ya seperti itulah Ia
memanggilku. Suaranya yang lantang selalu terdengar saat Ia memanggilku. Aya
adalah panggilan khusus yang Ia berikan kepadaku. Hanya dia lah yang
memanggilku, Aya. Karena keluargaku dan teman-temanku yang lain memanggilku dengan
panggilan Rayya. Ya benar, namaku yang sebenarnya adalah Rayya Lopritta.
Sebenarnya hal itu hanyalah sebuah
hal kecil, tapi itulah yang membuatku merasa bahagia. Betapa tidak, dia
memanggilku dengan panggilan khusus yang Ia buat special hanya untukku. Dia,
seseorang yang sangat dekat denganku. Tak jarang pertengkaran, percecokan,
permusuhan, dan lainnya sering kami alami. Tapi, hal tersebutlah yang membuat
kami semakin dekat dari hari ke hari. Hari demi hari, waktu demi waktu, detik
demi detik, kami lalui bersama.
Entah dapat disebut apa hubungan
kami ini. Teman? Menurutku, hubungan kami sudah terlalu jauh dari yang namanya
teman. Sahabat? Hari demi hari memang kami lalui bersama, namun pertengkaran
terus menerus terjadi diantara kami. Musuh? Ini pun juga bukan, kami saling
perduli satu sama lain. Bingung? Ya benar, sampai saat ini pun aku masih tak
tahu dapat disebut apakah hubungan kami ini.
Dia, kadang datang dan kadang pergi.
Itulah hal yang paling aku benci darinya. Dia selalu bertingkah sesuai
keinginannya. Tak ada satupun orang yang mengetahui keinginannya. Mungkin,
hanya Tuhan dan dia yang tahu. Kadang aku kesal dan selalu bertanya kepadanya,
“Lo tau gak? Lo tuh ngeselin banget sih. Mau lo itu apa siiih?”. Tapiiiii,
jawabannya hanyalah, “Mau tau aja sih loooo”. Dan dia melanjutkannya dengan
tertawa liciknya itu. Hhmm, hal termenjengkelkan ya seperti ini.
“Ayyaaaaaaa”, teriakannya pada sore
itu terdengar dari ujung lapangan sekolah. Suara itu sudah tidak asing lagi
terdengar ditelingaku. Suara yang kadang suka mengganggu telingaku, namun suara
itulah yang membuatku merindu. Jujur, jika aku tak mendengar suara itu sehari
saja, aku merasa ada yang kurang di hariku. Mungkinkah ini yang biasa
teman-temanku bilang dengan sebutan, hhmm galau? Duh, aku tak boleh terkena
virus galau yang sering melanda kaum jomblowan dan jomblowati itu. Bagaimana
pun aku ini mempunyai seorang pacar. Ya benar, pacarku bernama Marko.
Marko, seorang Kapten Tim Baseball
di sekolahku yang paling disegani disekolah ini adalah pacarku. Postur tubuh
yang tinggi dan proporsional membuatnya disukai oleh lawan jenisnya. Kadang aku
cemburu melihatnya digoda oleh teman-teman wanitanya. Namun, hal itu hanya
terjadi di awal saja. Waktu demi waktu membuatku semakin biasa saja mendengar
godaan itu. Itu karena aku yakin Marko hanya memilih aku untuk menjadi
pendampingnya.
“Apasih sih? Lo tuh kalo manggil gue
biasa aja dooong, itu suara apa suara sih gede banget. Hft”, sautku membalas
sapaannya. “Marko manaa Ay? Gue ada bisnis nih sama doi”, balasnya. “Sok-sokan
bisnis lo. Haha. Marko ada di sekre Baseball tuh, biasa rapat mau ada turnamen
lagi. Lo tunggu aja, paling sebentar lagi rapatnya selesai”, jawabku.
Percakapan kecil yang sering terjadi antara kami ya seperti ini. Hal yang kadang
nyeleneh bahkan tidak ada kepentingannya sama sekali tetap kami obrolkan.
“Kooo.. Tunggu bentar, gue ada perlu
sama lo nih”, ujarnya kepada Marko. “Widiih, tumben nih lo manggil gue,
biasanya juga yang lo panggil Rayya terus. Hahaha. Ada apa nih?”, canda Marko.
“Sa aje lo ko, gue ada projek penting, ngomonginnya jangan disini yaa, nanti
Rayya denger Ko”, ucapnya. “Wah wah lagi ngomongin gue ya kalian? Ngomongin gue
ga usah sampe serius gitu dong, jadi enak. Mwehehe”, Selaku diantara obrolan
mereka setelah aku dari toilet. “Pede banget lo Ay, udeh ah, ada lo bikin
mules”, selanya kepadaku. Hhmm anak itu memang menyebalkan, hft. “Markooo, tadi
kamu ngomongin apasih sama dia?”, tanyaku penasaran. “Kamu mau tau aja apa mau
tau banget?”, lanjut Marko. “hhmm...”, belum selesai aku berkata, Marko
mengajakku untuk pulang. Di sepanjang perjalanan Marko hanya terdiam dan fokus
dengan Jalan mengarah ke rumahku.
Keesokan harinya, suara itu
terdengar lagi dan lagi. Oh tidaaak, telingaku, teriakku dalam hati. “Ayyaaa...
lo pulang sama siapa? Marko latihan baseball kan hari ini? Bareng gue aja yaa,
pleasee..”, pintanya serius. Aku bingung harus menjawab apa, aku sudah janji
akan menemani Marko latihan Baseball hari itu. “Rayyaa..”, panggil Marko sambil
menghampiriku. Bagaimanaa inii teriakku dalam hati, haruskah menemani Marko
atau pulang bersamanya. “Iya Markoo kenapaa? Kamu jadi latihan hari ini?”,
tanyaku. “Tadi Mama nelpon aku untuk pulang cepat, Ray. Jadi, hari ini aku
engga latihan dulu. Kamu mau aku antar pulang?”, seru Marko. “Udah Ko, Lo
pulang aja, biar Rayya gue anter pulang. Lo juga disuruh pulang cepet kan sama
nyokap Lo”, ucapnya. Marko pun berkata padanya, “Yaudah, gue titip Rayya sama
Lo dulu. Jagain Rayya gue ya”. “Gausah Lo bilang juga gue tau keless”, tegasnya
dengan lantang.
Ini mimpi? Atau kenyataan? Astagaaa,
aku terbebas dengan pilihan sulit itu. Akhirnya aku diantar pulang olehnya. “Ay”,
panggilnya dengan nada sedih saat diperjalanan pulang. “Kenapa Lo kayaknya
sedih gitu?”, jawabku. Dia pun meminggirkan motornya di sebuah taman yang tak
jauh dari rumahku. Tempat itu adalah tempat yang biasa aku kunjungi bersamanya.
Dan ditempat itulah biasa kami sering bercerita. “Sini duduk, lo pasti mau
cerita kan? Cerita apasih emang?”, tanyaku serius padanya. Muka murungnya itu
tak biasa nampak pada dirinya. “Kemarin, gue mimpi....”. Belum selesai dia
bicara, aku pun memotongnya, “Mimpi bisa buat lo sedih gini? Wahahaha Ini
beneran lo nih?”. “Ay, gue serius. Dengerin gue cerita dulu ya Ay. Gue itu
mimpi, kalo kita ga bisa main sama-sama lagi Ay”, ucapnya dengan muka serius.
Sebenarnya, maunya itu apasih, hal
itu yang membuatku bingung. Entah apa itu, tapi hal ini yang aku jarang temukan
padanya. Karena ga biasa dia bercerita hal seserius itu. “Bukannya lo seneng kan
ga ketemu gue lagi? Katanya lo bosen main sama gue. Hahaha”, sambungku dengan
nada bercanda. “Ay, gue mimpi lo pergi ke surga Ay. Lo masih mau ketawa lagi?
Gue takut Ay kalo lo ga ada. Nanti yang main dan dengerin cerita-cerita gue
siapa lagi kalo bukan loo??”. Ucapannya itu membuatku terdiam.
Suasana pun menjadi hening selama
beberapa menit. “Ayyaa..”, panggilnya dengan nada lembut. Nah, hal ini yang
baru pernah terjadi selama aku berteman dengannya. Dia memanggilku dengan nada
selembut itu. “Jika memang suatu saat nanti, salah satu dari kita dipanggil
oleh Tuhan, hubungan ini jangan berakhir ya, entah apa namanya ini, pertemanan,
persahabatan, atau apalah ini, tetap harus dijaga ya, tetap dikenang”, pesannya
dengan tegas. “Tenang aja brooo... Lo kenapa tiba-tiba jadi gini sih? Udahlah
yuk pulaang, nanti omongan lo semakin ngaco lagii. Hahaha”, sindirku padanya.
Perjalanan pulang pun kami lanjutkan
kembali. Dan sampailah aku di depan rumahku. Tidak seperti biasanya, dia tak
mau diajak mampir ke rumahku terlebih dahulu. Mungkin, ada hal yang dia mau
lakukan. Ya hanya itu yang ada dipikiranku saat itu. “Ayya, inget pesen gue ya
yang di taman tadi. Daaah Ayya, gue pulang dulu yaa”, ucapnya mengingatkanku. Tak
sempatku balas ucapannya itu, dia pun langsung pergi dari rumahku.
Di dalam pikiranku hanya terdapat
pertanyaan mengapa Ia berkata seperti tadi. Bagaimana jika yang diucapkannya
itu benar? Aku dan dia tak bisa main bersama lagi? Pertanyaan-pertanyaan itu
terus membayangi pikiranku. “Ibuuu... Aku pulanggg”, seruku setiap pulang
sekolah. Kamar, ya tempat itulah yang aku tuju setelah pulang sekolah. Kamar
membuat pikiranku menjadi tenang dan releks sehabis pulang sekolah. Namun,
berbeda dengan hari ini. Ada sesuatu yang mengganjal, entah apa itu. Aku sudah
mencoba memejamkan mataku sejenak setelah berganti pakaian. Tapi, mataku tetap
tak bisa terpejam.
Perkataannya di taman tadi
benar-benar membuatku kepikiran. Mengapa perasaanku ini menjadi tak menentu
seperti ini. Kenapa tiba-tiba perasaanku menjadi sedih setelah mendengar
perkataan itu? Kenapaaaa, teriakku dalam hati. Jujur, hal ini jarang aku alami.
Sehari-hari aku mencoba untuk ceria setiap hari. Murung? Kegiatan itu yang
paling aku hindari. Tapi. Tidak untuk kali ini.
Gundah? Mungkin itu yang lagi kualami
saat ini. Tak bisa fokus saat belajar, bahkan aku tak bisa memejamkan mataku
untuk beristirahat. Tiba-tiba terdengar suara ponselku, ya benar, ada telepon
dari Wira. Wira, dialah yang tadi telah mengantarku pulang. Wira lah yang
menjadi tempat aku mencurahkan ceritaku. Dan dialah yang membuatku menjadi
seperti ini. Ya benar, perasaan yang tak bisa diungkapkan. Sedih? Gundah?
Bingung? Semua bercampur menjadi satu.
“Ayyaaaaa......”, teriaknya saat
menelponku. “Wiiirr, lo ga bisa ya kalo manggil gue tuh pelanan dikit, kuping
gue pengang tauuuu..”, jawabku. “Iye Ay iyee, maafin gue yang ganteng ini
laah”, balas Wira dengan nama ke-geer-annya. “Terserah lo wir terseraaah... gue
iya-in aja deh, Kenapa sih lo nelpon gue malem-malem gini?”, tanyaku pada Wira.
“Gue tau nih, lo pasti belom tidur gara-gara omongan gue di taman tadi siang
kan? Jawab deeeehhh, jujur aja sama gue keless”, jawab Wira dengan nada sok
asiknya.
Duh, kenapa Wira bisa tahu apa yang
sedang aku pikirkan? Dia dukun? Alah dia mana mungkin dukun. “Apaan sih lo Wir?
Pertanyaan lo itu ga mutu tauu”, jawabku mengalihkan pembicaraan. “Yee lo Ay,
gue tanya serius juga malah ga dijawab. Yaudah deh besok pokoknya kita harus
ketemu yaaa”, ujar Wira dengan nada yang sedikit serius. Seperti biasa Wira pasti
ada aja nih, pikirku. “Yaudah woles aja, biasa juga di sekolah ketemu juga”,
balasku singkat sambil menutup telepon dari Wira.
Setelah mendengar suara Wira aku
sedikit lebih tenang sehingga aku dapat memejamkan mataku untuk beristirahat.
Hingga pada pagi harinya, aku pun bangun dan berangkat ke sekolah. Akibat
memikirkan hal yang dikatakan Wira semalam suntuk, aku lupa mengabari Marko.
Setelah aku ingat, aku pun langsung SMS ke Marko sebelum berangkat ke sekolah.
“Ayyaaa...” Suara itu tak asing ditelingaku.
“Pasti Wira nih dateng”, ucapku dengan suara pelan. “Itu suara kecilin kale,
ini kan di sekolah”, lanjutku. “Maaf, maaf Ay. Lo kemaren ga ngabarin Marko ya
Ay? Soalnya kemaren gue ditanyain Marko pas abis gue nelpon lo itu. Kata Marko,
dia nungguin lo dari pas pulang sekolah tapi lo nya ga ngabarin doi, pas udah
malem dia mau nelpon lo tapi gajadi. Katanya takut lo udah tidur, gitu”, ujar
Wira. “Iya Wir, gue lupa banget ngabarin
Marko kemaren huhu. Pasti dia khawatir deh sama gue”, sambungku.
Bel masuk pun berbunyi, aku masuk
dalam kelas dan Wira pun juga masuk ke dalam kelasnya. “ddrrtttt drrttt...”,
suara handphoneku bergetar, ya benar balasan SMS dari Marko. “Rayyaa.. hari ini
aku ga masuk sekolah ya, iya gapapa kok sayang yang penting kamu udah ngabarin
aku sekarang. Kamu hati-hati terus ya Rayya. Aku udah nitip kamu ke Wira selama
aku engga ada. Aku sayang kamu, Rayya. Your loved (Marko)”. Belum sempat aku
balas pesan dari Marko, guru pun sudah memasuki ruang kelas dan kegiatan
belajar mengajar pun dimulai.
Jam demi jam berlalu, waktu pulang
sekolah pun tiba. Dan, suara itu terdengar lagi. “Ayyaaaaaaa.....”, teriak Wira
kepadaku dari depan kelasnya. Oh tidak, anak itu semakin menjengkelkan. “Lo
kenapa sih Wir? Kok ga nyantai gitu?”, jawabku terheran. Wira menghampiriku
segera dan mengajakku ke taman tempat biasa kami bercerita.
Setelah sampai di taman, Wira
mengeluarkan sebuah surat. “Wir, itu apaan? Surat yaa? Waaah lo dapet surat
cinta dari siapa? Pantesan buru-buru, pasti lo mau tanya pendapat gue kan
tentang surat itu? Apa lo sengaja bikin surat buat gue? Mana Wir sini
suratnya”, sambarku dengan cepat serta mengambil suratnya. “Dengerin gue dulu
Ayya, lo tenangin diri lo dulu, baru lo boleh baca surat itu”, pinta Wira
dengan serius. Aku semakin penasaran apa isi surat itu. “Oke, gue udah tenang,
sekarang gue boleh baca suratnya ya”, paksaku.
Perlahan-lahan kubuka surat itu
dengan rasa penasaran ini. Kata demi kata telah kubaca, detik demi detik air
mataku terurai. Tangisku semakin kencang setelah melihat bahwa penulis surat
itu adalah Marko. Ya benar, dia pacarku. Kenapa Marko tidak pernah
memberitahuku bahwa Ia mengidap penyakit yang sangat keras itu? Kenapa Ia
merahasiakannya dariku? Kenapa??
Wira yang berada disampingku
langsung menenangiku. “Ayya, kata Marko, lo ga boleh nangis bacanya, hari ini
dia ga masuk karena dia harus menjalani operasi besarnya. Makanya, gue baru
boleh ngasih surat ini ke lo hari ini setelah lo pulang sekolah. Marko bilang
ke gue, gue harus jagain lo setulus hati gue kalo operasi besarnya tidak
membuahkan hasil yang maksimal. Lo pasti tau Ay apa maksud gue”, jelas Wira.
“Wir, kenapa lo ga ngomong juga sama gue Wir, kenapa?”, tanyaku pada Wira.
Sebuah
telepon pun datang, ya benar sekali, telepon dari nomor Marko. Aku pun segera
mengangkatnya dengan harapan mendengar kabar baik darinya. “Rayya, aku sudah
selesai operasinya dan semua berjalan dengan lancar”, ujar Marko. Saat itu,
pikirku adalah senang karena mengetahui bahwa operasinya berjalan dengan
lancar. Lalu aku pun langsung pergi ke rumah sakit untuk melihat kondisi Marko
bersama Wira.
Rayya Lopritta, dialah yang sering
kupanggil dengan nama Aya. Tulisannya memberitahuku bahwa panggilan itu sangat
berarti untuknya. Buku yang berisi tulisan itu sempat ia tunjukkan padaku saat
di taman. Tulisan itu belum mempunyai akhir cerita jelasnya padaku. Buku itu
berubah warna menjadi merah. Ya benar, percikan darah ada di buku itu. Buku itu
aku temukan saat Rayya tergeletak di tengah jalan akibat kecelakaan itu.
Rayya Lopritta telah tiada, dia
menghembuskan nafas terakhirnya saat berada didekatku. Kecelakaan itu membuat
aku sangat terpukul. Betapa tidak, saat itu aku sedang bersamanya untuk menuju
ke rumah sakit melihat Marko. Namun, Tuhan berkata lain, Ayya pergi
meninggalkan dunia. Aku mencoba mengikhlaskan semua ini. Menerima apa yang telah
terjadi saat ini. Tulisan yang telah Ia buat pun, aku coba untuk membuat akhir
ceritanya. Dan ini lah akhirnya, Rayya Lopritta, gadis periang yang selalu
bersamaku telah tenang disisi Tuhan.