Kamis, 03 April 2014

Selamat Membaca! Mohon Maaf! Saya bukan PENULIS! Saya hanyalah seorang yang senang berimajinasi!



Rayya Lopritta
By Yuka Agustin Chalistya


            “Ayyaaaaa”, ya seperti itulah Ia memanggilku. Suaranya yang lantang selalu terdengar saat Ia memanggilku. Aya adalah panggilan khusus yang Ia berikan kepadaku. Hanya dia lah yang memanggilku, Aya. Karena keluargaku dan teman-temanku yang lain memanggilku dengan panggilan Rayya. Ya benar, namaku yang sebenarnya adalah Rayya Lopritta.
            Sebenarnya hal itu hanyalah sebuah hal kecil, tapi itulah yang membuatku merasa bahagia. Betapa tidak, dia memanggilku dengan panggilan khusus yang Ia buat special hanya untukku. Dia, seseorang yang sangat dekat denganku. Tak jarang pertengkaran, percecokan, permusuhan, dan lainnya sering kami alami. Tapi, hal tersebutlah yang membuat kami semakin dekat dari hari ke hari. Hari demi hari, waktu demi waktu, detik demi detik, kami lalui bersama.
            Entah dapat disebut apa hubungan kami ini. Teman? Menurutku, hubungan kami sudah terlalu jauh dari yang namanya teman. Sahabat? Hari demi hari memang kami lalui bersama, namun pertengkaran terus menerus terjadi diantara kami. Musuh? Ini pun juga bukan, kami saling perduli satu sama lain. Bingung? Ya benar, sampai saat ini pun aku masih tak tahu dapat disebut apakah hubungan kami ini.
            Dia, kadang datang dan kadang pergi. Itulah hal yang paling aku benci darinya. Dia selalu bertingkah sesuai keinginannya. Tak ada satupun orang yang mengetahui keinginannya. Mungkin, hanya Tuhan dan dia yang tahu. Kadang aku kesal dan selalu bertanya kepadanya, “Lo tau gak? Lo tuh ngeselin banget sih. Mau lo itu apa siiih?”. Tapiiiii, jawabannya hanyalah, “Mau tau aja sih loooo”. Dan dia melanjutkannya dengan tertawa liciknya itu. Hhmm, hal termenjengkelkan ya seperti ini.
            “Ayyaaaaaaa”, teriakannya pada sore itu terdengar dari ujung lapangan sekolah. Suara itu sudah tidak asing lagi terdengar ditelingaku. Suara yang kadang suka mengganggu telingaku, namun suara itulah yang membuatku merindu. Jujur, jika aku tak mendengar suara itu sehari saja, aku merasa ada yang kurang di hariku. Mungkinkah ini yang biasa teman-temanku bilang dengan sebutan, hhmm galau? Duh, aku tak boleh terkena virus galau yang sering melanda kaum jomblowan dan jomblowati itu. Bagaimana pun aku ini mempunyai seorang pacar. Ya benar, pacarku bernama Marko.
            Marko, seorang Kapten Tim Baseball di sekolahku yang paling disegani disekolah ini adalah pacarku. Postur tubuh yang tinggi dan proporsional membuatnya disukai oleh lawan jenisnya. Kadang aku cemburu melihatnya digoda oleh teman-teman wanitanya. Namun, hal itu hanya terjadi di awal saja. Waktu demi waktu membuatku semakin biasa saja mendengar godaan itu. Itu karena aku yakin Marko hanya memilih aku untuk menjadi pendampingnya.
            “Apasih sih? Lo tuh kalo manggil gue biasa aja dooong, itu suara apa suara sih gede banget. Hft”, sautku membalas sapaannya. “Marko manaa Ay? Gue ada bisnis nih sama doi”, balasnya. “Sok-sokan bisnis lo. Haha. Marko ada di sekre Baseball tuh, biasa rapat mau ada turnamen lagi. Lo tunggu aja, paling sebentar lagi rapatnya selesai”, jawabku. Percakapan kecil yang sering terjadi antara kami ya seperti ini. Hal yang kadang nyeleneh bahkan tidak ada kepentingannya sama sekali tetap kami obrolkan.
            “Kooo.. Tunggu bentar, gue ada perlu sama lo nih”, ujarnya kepada Marko. “Widiih, tumben nih lo manggil gue, biasanya juga yang lo panggil Rayya terus. Hahaha. Ada apa nih?”, canda Marko. “Sa aje lo ko, gue ada projek penting, ngomonginnya jangan disini yaa, nanti Rayya denger Ko”, ucapnya. “Wah wah lagi ngomongin gue ya kalian? Ngomongin gue ga usah sampe serius gitu dong, jadi enak. Mwehehe”, Selaku diantara obrolan mereka setelah aku dari toilet. “Pede banget lo Ay, udeh ah, ada lo bikin mules”, selanya kepadaku. Hhmm anak itu memang menyebalkan, hft. “Markooo, tadi kamu ngomongin apasih sama dia?”, tanyaku penasaran. “Kamu mau tau aja apa mau tau banget?”, lanjut Marko. “hhmm...”, belum selesai aku berkata, Marko mengajakku untuk pulang. Di sepanjang perjalanan Marko hanya terdiam dan fokus dengan Jalan mengarah ke rumahku.
            Keesokan harinya, suara itu terdengar lagi dan lagi. Oh tidaaak, telingaku, teriakku dalam hati. “Ayyaaa... lo pulang sama siapa? Marko latihan baseball kan hari ini? Bareng gue aja yaa, pleasee..”, pintanya serius. Aku bingung harus menjawab apa, aku sudah janji akan menemani Marko latihan Baseball hari itu. “Rayyaa..”, panggil Marko sambil menghampiriku. Bagaimanaa inii teriakku dalam hati, haruskah menemani Marko atau pulang bersamanya. “Iya Markoo kenapaa? Kamu jadi latihan hari ini?”, tanyaku. “Tadi Mama nelpon aku untuk pulang cepat, Ray. Jadi, hari ini aku engga latihan dulu. Kamu mau aku antar pulang?”, seru Marko. “Udah Ko, Lo pulang aja, biar Rayya gue anter pulang. Lo juga disuruh pulang cepet kan sama nyokap Lo”, ucapnya. Marko pun berkata padanya, “Yaudah, gue titip Rayya sama Lo dulu. Jagain Rayya gue ya”. “Gausah Lo bilang juga gue tau keless”, tegasnya dengan lantang.
            Ini mimpi? Atau kenyataan? Astagaaa, aku terbebas dengan pilihan sulit itu. Akhirnya aku diantar pulang olehnya. “Ay”, panggilnya dengan nada sedih saat diperjalanan pulang. “Kenapa Lo kayaknya sedih gitu?”, jawabku. Dia pun meminggirkan motornya di sebuah taman yang tak jauh dari rumahku. Tempat itu adalah tempat yang biasa aku kunjungi bersamanya. Dan ditempat itulah biasa kami sering bercerita. “Sini duduk, lo pasti mau cerita kan? Cerita apasih emang?”, tanyaku serius padanya. Muka murungnya itu tak biasa nampak pada dirinya. “Kemarin, gue mimpi....”. Belum selesai dia bicara, aku pun memotongnya, “Mimpi bisa buat lo sedih gini? Wahahaha Ini beneran lo nih?”. “Ay, gue serius. Dengerin gue cerita dulu ya Ay. Gue itu mimpi, kalo kita ga bisa main sama-sama lagi Ay”, ucapnya dengan muka serius.
            Sebenarnya, maunya itu apasih, hal itu yang membuatku bingung. Entah apa itu, tapi hal ini yang aku jarang temukan padanya. Karena ga biasa dia bercerita hal seserius itu. “Bukannya lo seneng kan ga ketemu gue lagi? Katanya lo bosen main sama gue. Hahaha”, sambungku dengan nada bercanda. “Ay, gue mimpi lo pergi ke surga Ay. Lo masih mau ketawa lagi? Gue takut Ay kalo lo ga ada. Nanti yang main dan dengerin cerita-cerita gue siapa lagi kalo bukan loo??”. Ucapannya itu membuatku terdiam.
            Suasana pun menjadi hening selama beberapa menit. “Ayyaa..”, panggilnya dengan nada lembut. Nah, hal ini yang baru pernah terjadi selama aku berteman dengannya. Dia memanggilku dengan nada selembut itu. “Jika memang suatu saat nanti, salah satu dari kita dipanggil oleh Tuhan, hubungan ini jangan berakhir ya, entah apa namanya ini, pertemanan, persahabatan, atau apalah ini, tetap harus dijaga ya, tetap dikenang”, pesannya dengan tegas. “Tenang aja brooo... Lo kenapa tiba-tiba jadi gini sih? Udahlah yuk pulaang, nanti omongan lo semakin ngaco lagii. Hahaha”, sindirku padanya.
            Perjalanan pulang pun kami lanjutkan kembali. Dan sampailah aku di depan rumahku. Tidak seperti biasanya, dia tak mau diajak mampir ke rumahku terlebih dahulu. Mungkin, ada hal yang dia mau lakukan. Ya hanya itu yang ada dipikiranku saat itu. “Ayya, inget pesen gue ya yang di taman tadi. Daaah Ayya, gue pulang dulu yaa”, ucapnya mengingatkanku. Tak sempatku balas ucapannya itu, dia pun langsung pergi dari rumahku.
            Di dalam pikiranku hanya terdapat pertanyaan mengapa Ia berkata seperti tadi. Bagaimana jika yang diucapkannya itu benar? Aku dan dia tak bisa main bersama lagi? Pertanyaan-pertanyaan itu terus membayangi pikiranku. “Ibuuu... Aku pulanggg”, seruku setiap pulang sekolah. Kamar, ya tempat itulah yang aku tuju setelah pulang sekolah. Kamar membuat pikiranku menjadi tenang dan releks sehabis pulang sekolah. Namun, berbeda dengan hari ini. Ada sesuatu yang mengganjal, entah apa itu. Aku sudah mencoba memejamkan mataku sejenak setelah berganti pakaian. Tapi, mataku tetap tak bisa terpejam.
            Perkataannya di taman tadi benar-benar membuatku kepikiran. Mengapa perasaanku ini menjadi tak menentu seperti ini. Kenapa tiba-tiba perasaanku menjadi sedih setelah mendengar perkataan itu? Kenapaaaa, teriakku dalam hati. Jujur, hal ini jarang aku alami. Sehari-hari aku mencoba untuk ceria setiap hari. Murung? Kegiatan itu yang paling aku hindari. Tapi. Tidak untuk kali ini.
            Gundah? Mungkin itu yang lagi kualami saat ini. Tak bisa fokus saat belajar, bahkan aku tak bisa memejamkan mataku untuk beristirahat. Tiba-tiba terdengar suara ponselku, ya benar, ada telepon dari Wira. Wira, dialah yang tadi telah mengantarku pulang. Wira lah yang menjadi tempat aku mencurahkan ceritaku. Dan dialah yang membuatku menjadi seperti ini. Ya benar, perasaan yang tak bisa diungkapkan. Sedih? Gundah? Bingung? Semua bercampur menjadi satu.
            “Ayyaaaaa......”, teriaknya saat menelponku. “Wiiirr, lo ga bisa ya kalo manggil gue tuh pelanan dikit, kuping gue pengang tauuuu..”, jawabku. “Iye Ay iyee, maafin gue yang ganteng ini laah”, balas Wira dengan nama ke-geer-annya. “Terserah lo wir terseraaah... gue iya-in aja deh, Kenapa sih lo nelpon gue malem-malem gini?”, tanyaku pada Wira. “Gue tau nih, lo pasti belom tidur gara-gara omongan gue di taman tadi siang kan? Jawab deeeehhh, jujur aja sama gue keless”, jawab Wira dengan nada sok asiknya.
            Duh, kenapa Wira bisa tahu apa yang sedang aku pikirkan? Dia dukun? Alah dia mana mungkin dukun. “Apaan sih lo Wir? Pertanyaan lo itu ga mutu tauu”, jawabku mengalihkan pembicaraan. “Yee lo Ay, gue tanya serius juga malah ga dijawab. Yaudah deh besok pokoknya kita harus ketemu yaaa”, ujar Wira dengan nada yang sedikit serius. Seperti biasa Wira pasti ada aja nih, pikirku. “Yaudah woles aja, biasa juga di sekolah ketemu juga”, balasku singkat sambil menutup telepon dari Wira.
            Setelah mendengar suara Wira aku sedikit lebih tenang sehingga aku dapat memejamkan mataku untuk beristirahat. Hingga pada pagi harinya, aku pun bangun dan berangkat ke sekolah. Akibat memikirkan hal yang dikatakan Wira semalam suntuk, aku lupa mengabari Marko. Setelah aku ingat, aku pun langsung SMS ke Marko sebelum berangkat ke sekolah.
            “Ayyaaa...” Suara itu tak asing ditelingaku. “Pasti Wira nih dateng”, ucapku dengan suara pelan. “Itu suara kecilin kale, ini kan di sekolah”, lanjutku. “Maaf, maaf Ay. Lo kemaren ga ngabarin Marko ya Ay? Soalnya kemaren gue ditanyain Marko pas abis gue nelpon lo itu. Kata Marko, dia nungguin lo dari pas pulang sekolah tapi lo nya ga ngabarin doi, pas udah malem dia mau nelpon lo tapi gajadi. Katanya takut lo udah tidur, gitu”, ujar Wira.  “Iya Wir, gue lupa banget ngabarin Marko kemaren huhu. Pasti dia khawatir deh sama gue”, sambungku.
            Bel masuk pun berbunyi, aku masuk dalam kelas dan Wira pun juga masuk ke dalam kelasnya. “ddrrtttt drrttt...”, suara handphoneku bergetar, ya benar balasan SMS dari Marko. “Rayyaa.. hari ini aku ga masuk sekolah ya, iya gapapa kok sayang yang penting kamu udah ngabarin aku sekarang. Kamu hati-hati terus ya Rayya. Aku udah nitip kamu ke Wira selama aku engga ada. Aku sayang kamu, Rayya. Your loved (Marko)”. Belum sempat aku balas pesan dari Marko, guru pun sudah memasuki ruang kelas dan kegiatan belajar mengajar pun dimulai.
            Jam demi jam berlalu, waktu pulang sekolah pun tiba. Dan, suara itu terdengar lagi. “Ayyaaaaaaa.....”, teriak Wira kepadaku dari depan kelasnya. Oh tidak, anak itu semakin menjengkelkan. “Lo kenapa sih Wir? Kok ga nyantai gitu?”, jawabku terheran. Wira menghampiriku segera dan mengajakku ke taman tempat biasa kami bercerita.
            Setelah sampai di taman, Wira mengeluarkan sebuah surat. “Wir, itu apaan? Surat yaa? Waaah lo dapet surat cinta dari siapa? Pantesan buru-buru, pasti lo mau tanya pendapat gue kan tentang surat itu? Apa lo sengaja bikin surat buat gue? Mana Wir sini suratnya”, sambarku dengan cepat serta mengambil suratnya. “Dengerin gue dulu Ayya, lo tenangin diri lo dulu, baru lo boleh baca surat itu”, pinta Wira dengan serius. Aku semakin penasaran apa isi surat itu. “Oke, gue udah tenang, sekarang gue boleh baca suratnya ya”, paksaku.
            Perlahan-lahan kubuka surat itu dengan rasa penasaran ini. Kata demi kata telah kubaca, detik demi detik air mataku terurai. Tangisku semakin kencang setelah melihat bahwa penulis surat itu adalah Marko. Ya benar, dia pacarku. Kenapa Marko tidak pernah memberitahuku bahwa Ia mengidap penyakit yang sangat keras itu? Kenapa Ia merahasiakannya dariku? Kenapa??
            Wira yang berada disampingku langsung menenangiku. “Ayya, kata Marko, lo ga boleh nangis bacanya, hari ini dia ga masuk karena dia harus menjalani operasi besarnya. Makanya, gue baru boleh ngasih surat ini ke lo hari ini setelah lo pulang sekolah. Marko bilang ke gue, gue harus jagain lo setulus hati gue kalo operasi besarnya tidak membuahkan hasil yang maksimal. Lo pasti tau Ay apa maksud gue”, jelas Wira. “Wir, kenapa lo ga ngomong juga sama gue Wir, kenapa?”, tanyaku pada Wira.
            Sebuah telepon pun datang, ya benar sekali, telepon dari nomor Marko. Aku pun segera mengangkatnya dengan harapan mendengar kabar baik darinya. “Rayya, aku sudah selesai operasinya dan semua berjalan dengan lancar”, ujar Marko. Saat itu, pikirku adalah senang karena mengetahui bahwa operasinya berjalan dengan lancar. Lalu aku pun langsung pergi ke rumah sakit untuk melihat kondisi Marko bersama Wira.
            Rayya Lopritta, dialah yang sering kupanggil dengan nama Aya. Tulisannya memberitahuku bahwa panggilan itu sangat berarti untuknya. Buku yang berisi tulisan itu sempat ia tunjukkan padaku saat di taman. Tulisan itu belum mempunyai akhir cerita jelasnya padaku. Buku itu berubah warna menjadi merah. Ya benar, percikan darah ada di buku itu. Buku itu aku temukan saat Rayya tergeletak di tengah jalan akibat kecelakaan itu.
            Rayya Lopritta telah tiada, dia menghembuskan nafas terakhirnya saat berada didekatku. Kecelakaan itu membuat aku sangat terpukul. Betapa tidak, saat itu aku sedang bersamanya untuk menuju ke rumah sakit melihat Marko. Namun, Tuhan berkata lain, Ayya pergi meninggalkan dunia. Aku mencoba mengikhlaskan semua ini. Menerima apa yang telah terjadi saat ini. Tulisan yang telah Ia buat pun, aku coba untuk membuat akhir ceritanya. Dan ini lah akhirnya, Rayya Lopritta, gadis periang yang selalu bersamaku telah tenang disisi Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar